Neraca Online, “Ekonomi biru bukan hanya tentang laut, tetapi tentang manusia—tentang bagaimana komunikasi dan kolaborasi mampu mengubah cara kita membangun masa depan,” ujar Dr. Prasetya Yoga Santoso, Ketua Program Studi Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta, dalam pembukaan seminar “Indonesia Blue Economy 2025: Interdisciplinary Dialogue on Tourism, Entrepreneurship and Communication” di Café S28 Nur Corner Jl. Sisingamangaraja no.28, Jakarta.
Kegiatan ini menjadi ruang temu gagasan antara akademisi, komunitas, dan pelaku industri. Di antara berbagai pemikiran yang muncul, salah satu yang paling menonjol datang dari Dr. Rahtika Diana, alumni DIK Usahid sekaligus Founder Beyond Borders Indonesia, yang menegaskan bahwa pembangunan ekonomi biru sejatinya harus dimulai dari wilayah perbatasan — tempat di mana laut, budaya, dan kehidupan masyarakat bertemu menjadi satu ekosistem sosial-ekonomi yang utuh.
Sebagai komunitas yang lahir dari semangat kolaborasi lintas batas, Beyond Borders Indonesia menempatkan diri sebagai jembatan antara akademisi, pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat lokal. Visinya sederhana namun strategis: mengubah perbatasan menjadi jembatan kemakmuran.
“Wilayah perbatasan bukan sekadar garis batas, melainkan gerbang masa depan Indonesia. Melalui ekonomi biru, kita mentransformasi daerah 3T menjadi frontier of prosperity — dari kedaulatan menuju kesejahteraan,” ujar Dr. Rahtika Diana.
Melalui inisiatif Beyond Borders Indonesia, Dr. Rahtika Diana bersama BNPP RI (Badan Nasional Pengelola Perbatasan Republik Indonesia) dan Terang Hijau Indonesia mengembangkan pilot project implementasi ekonomi biru berkelanjutan di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Maluku Tenggara. Kedua wilayah tersebut dipilih karena merepresentasikan potensi maritim strategis sekaligus tantangan nyata pembangunan di kawasan perbatasan.
Program ini mengintegrasikan tiga poros utama:
1. Pemberdayaan masyarakat pesisir melalui inovasi ekonomi lokal;
2. Transisi energi bersih melalui pemanfaatan sumber daya terbarukan;
3. Komunikasi partisipatif dan pendidikan komunitas, agar masyarakat menjadi subjek pembangunan, bukan sekadar objek kebijakan.
“Kami ingin menciptakan ekosistem ekonomi biru yang berpihak pada manusia dan lingkungan. Komunikasi menjadi jembatan antara pengetahuan lokal dan teknologi global,”jelas Dr. Rahtika Diana.
Dalam seminar tersebut, Dr. Dwinanto Kurniawan, Direktur PT Polytama Propindo dan Founder Terang Hijau Indonesia, turut menegaskan pentingnya komunikasi strategis dalam mewujudkan transformasi ekonomi biru. Terang Hijau Indonesia menjadi mitra kolaboratif Beyond Borders dalam pengembangan energi terbarukan dan model komunikasi transformatif di masyarakat pesisir.
“Jika CSR berbicara tentang tanggung jawab sosial korporasi, maka ekonomi biru adalah tanggung jawab kolektif untuk masa depan bumi,” ujar Dr. Dwinanto.
Sementara itu, Dr. Yoga menekankan bahwa kolaborasi lintas sektor menjadi kunci keberhasilan gerakan ini.
“Tantangan terbesar ekonomi biru bukan pada sumber daya alamnya, tetapi pada bagaimana manusia mampu berkomunikasi dan berkolaborasi lintas disiplin,” ujarnya.
Kehadiran Beyond Borders tidak hanya menginspirasi model pembangunan berbasis komunitas, tetapi juga memperkuat diplomasi ekonomi biru Indonesia di tingkat nasional dan internasional — menjadikan wilayah perbatasan sebagai etalase peradaban maritim dan pusat inovasi berkelanjutan.
Transformasi ekonomi biru hanya dapat terwujud melalui kolaborasi yang hidup antara komunitas, akademisi, dan praktisi. Beyond Borders Indonesia menjadi contoh nyata bahwa gerakan sosial yang digerakkan oleh pengetahuan dan empati mampu menembus batas administratif dan geografis. Melalui kerja bersama, ekonomi biru bukan lagi wacana, tetapi gerakan nyata menuju Indonesia Maju dari Pesisir hingga Perbatasan.






































